Jakarta, CNN Indonesia --
Ekonom menyebut perang Iran dan Israel bisa memicu perpecahan di antara negara anggota BRICS.
Kalau itu benar, Indonesia sebagai bagian dari organisasi tersebut bisa ikut terdampak.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan tidak akan semua negara anggota BRICS memihak Iran. Sebab, banyak pula yang takut hubungan dagangnya dengan negara barat rusak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Polarisasi politik ini bisa merubah dinamika di solidaritas itu sendiri. Kita tahu dari Rusia dan China sangat mendukung posisi Iran karena Iran juga melupakan anggota BRICS, tetapi posisi negara-negara lain cenderung netral sehingga akan sangat sulit," ujar Tauhid dalam webinar virtual ISEI Jakarta, Senin (23/6).
Misalnya, Indonesia yang mitra dagang utamanya adalah China dan AS akan sulit untuk memihak salah satunya. Sehingga mau tak mau pilihannya adalah netral.
Menurut Tauhid, konflik kedua negara akan berdampak pada banyak hal, mulai dari sektor bisnis hingga perekonomian. Terutama, dengan rencana penutupan Selat Hormuz yang pasti akan meningkatkan harga minyak.
"Apalagi, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab sangat bergantung pada jalur ini untuk mengekspor minyak mereka ke pasar Asia, Eropa dan Amerika," jelasnya.
Tauhid memprediksi penutupan Selat Hormuz akan menaikkan sewa tanker hingga 40-140 persen, sehingga harga minyak dunia akan ikut melonjak. Energy Information Administration (EIA) dan JP Morgan bahkan memperkirakan harga minyak bisa melonjak ke US$150-US$180 per barel.
"Ujung-ujungnya bisa mendorong kenaikan yield obligasi dan biaya pinjaman internasional hingga pelemahan mata uang lokal," jelasnya.
Sementara, Pakar Hubungan Internasional Dinna Prapto Raharja menyebutkan ada beberapa tantangan yang akan dihadapi BRICS, termasuk Indonesia di tengah dinamika ketegangan global.
"Tantangan BRICS kita lihat bahwa pada dasarnya BRICS berangkat dari distribusi power yang tidak seimbang. Jadi kalau bicara soal narasi, problem BRICS itu membangun narasi alternatif bukan satu hal yang mudah karena tentu saja pihak yang mau ditarik pengaruhnya ke luar ini, tidak ingin kehilangan pamor dan mukanya, misalnya AS dan Eropa," jelasnya.
Selain itu, tantangan lainnya adalah membangun sistem multipolar yang tentu akan menghadapi destabilitas pada tatanan yang sudah ada sebelumnya. Kemudian, arsitektur keuangan yang digunakan saat ini juga menjadi tantangan.
"Karena arsitektur keuangan yang kini ada melanggengkan beban utang dan kesenjangan ekonomi antara debitur dengan kreditur," pungkasnya.
(ldy/agt)