PCO soal Kasus Pemerkosaan '98: Jangan Divonis, Biar Sejarawan Bekerja

8 hours ago 3

Jakarta, CNN Indonesia --

Kepala Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi berharap semua pihak membiarkan sejarawan bekerja dulu secara akademik terkait polemik pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon soal tidak pemerkosaan massal selama kerusuhan Mei 1998.

Hasan meminta seluruh pihak untuk tidak mengambil kesimpulan secara cepat.

"Jadi kekhawatiran-kekhawatiran semacam ini mungkin bisa jadi diskusi tapi jangan divonis macam-macam dulu. Lihat saja dulu ya pekerjaan yang sedang dilakukan oleh para ahli sejarah dalam menulis sejarah Indonesia," kata Hasan di kantornya, Jakarta, Senin (16/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia meminta agar publik memberi waktu bagi tim sejarawan untuk bekerja menggarap proyek penulisan ulang sejarah nasional.

Hasan Nasbi menyebut sejarawan yang menggawangi tim penulisan ulang sejarah ini merupakan mereka yang memiliki kredibilitas tinggi.

"Kalau dia mengerti sejarah silakan dialog dengan para ahli sejarah, kalau bukan ahli sejarah ya kita baca sebagai macam bacaan-bacaan saja ya, bacaan di media sosial ya," ucapnya.

Sebelumnya, Fadli Zon dalam wawancara yang  tayang di kanal YouTube IDN Times pada 10 Juni 2025 menuai kritik keras karena menyatakan tak ada tragedi pemerkosaan massal pada 1998. Menurut dia, tragedi pemerkosaan massal dalam kerusuhan rasial 1998 tersebut tidak terbukti.

Pernyataan Fadli Zon itu pun menuai kontroversi. Politikus Gerindra itu pun dikritik banyak pihak, terutama kelompok masyarakat sipil pemerhati kasus HAM berat di masa lalu.

Merespons kecaman-kecaman itu, di dalam keterangan persnya pada Senin ini, Fadli Zon mengaku mengutuk berbagai perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan. Oleh karena itu, kata Fadli, pernyataannya tidak berarti menegasikan kerugian atau menihilkan penderitaan korban.

"Sebaliknya, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan," kata dia lewat keterangan tertulis.

Fadli membantah telah menyangkal bentuk kekerasan seksual. Dia mengaku hanya menekankan sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.

"Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik," katanya.

Pernyataan Fadli Zon itu pun dibantah Komnas HAM hingga Komnas Perempuan.

"Pernyataan Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon yang menyatakan tidak ada perkosaan dalam Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 tidak tepat karena Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 telah diakui oleh Pemerintah dan sebagian korban dan keluarga korban telah mendapatkan layanan," ungkap Ketu Komnas HAM Anis Hidayah, Senin ini.

Anis membeberkan pada 2003 silam, Komnas HAM membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998. Tim Ad Hoc menyelesaikan penyelidikan pada September 2003.

"Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM, Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 dinyatakan sebagai Pelanggaran HAM yang Berat yaitu Kejahatan terhadap Kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," ujar Anis.

Anis menjelaskan bentuk-bentuk tindakan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU 26/2000 dalam Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 yaitu pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, dan persekusi.

Pada 19 September 2003, tutur Anis, Komnas HAM melalui Surat Nomor: 197/TUA/IX/2003 telah menyerahkan hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 kepada Jaksa Agung selaku Penyidik.

Selanjutnya pada 2022, pemerintah menerbitkan Keppres Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat (Tim PPHAM).

Setelah menerima Laporan Akhir Tim PPHAM, tepatnya pada 11 Januari 2023, Presiden mengakui Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 dan 11 peristiwa lainnya sebagai pelanggaran HAM yang berat.

Selanjutnya pada 15 Maret 2023 Presiden mengeluarkan Inpres Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat.

Pada 11 Desember 2023, terang Anis, keluarga korban Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 mendapatkan layanan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Sebelumnya, negara melalui Presiden ketiga RI BJ Habibie pernah mengakui rangkaian kasus kekerasan dan pemerkosaan massal terhadap perempuan selama kerusuhan Mei 1998 sebelum kejatuhan Presiden kedua RI Soeharto.

Pidato Habibie itu pun diingatkan kembali oleh sejumlah pihak, termasuk eks Menkumham Yasonna H Laoly, merespons pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyatakan tidak ada bukti dalam pemerkosaan massal Mei 1998.

Pidato itu disampaikan Habibie di hadapan parlemen dalam Sidang Umum MPR 16 Agustus 1998. Dalam pidato pertamanya sebagai presiden usai dilantik menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri, Habibie juga menyinggung rangkaian kerusuhan pada Mei 1998 itu.

"Mereka juga masih dibayang-bayangi huru hara massa yang dipicu oleh gugurnya keempat pahlawan reformasi pada tanggal 12 Mei 1998," kata Habibie dalam video yang diunggah akun YouTube AP Archive 22 Juli 2015, dikutip Senin (16/6).

"Huru-hara berupa penjarahan dan pembakaran pusat-pusat pertokoan, dan rumah penduduk tersebut bahkan disertai tindak kekerasan dan perundungan seksual, terhadap kaum perempuan, terutama dari etnis Tionghoa," imbuh Habibie.

Habibie menilai seluruh insiden kerusuhan dan kekerasan seksual itu sangat memalukan bagi Indonesia. Dia pun mengutuk perbuatan tersebut.

"Seluruh rangkaian tindakan tidak bertanggung jawab tersebut sangat memalukan dan telah mencoreng muka kita sendiri. Sebagai bangsa yang berakhlak dan bermoral tinggi, sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama, kita mengutuk perbuatan biadab tersebut," kata pria berlatar belakang teknokrat tersebut.

"Berkaitan dengan kesungguhan kita dalam menghormati dan menegakkan hak asasi manusia tersebut, melalui forum yang mulia ini atas nama pemerintah, saya menyampaikan penyesalan yang sedalam-dalamnya atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di beberapa daerah pada masa lalu," tambahnya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid menyebut pernyataan Fadli tersebut merupakan bentuk penyangkalan ganda demi menghindar dari kesalahan.

"Jelas keliru ucapan yang bilang perkosaan massal saat kerusuhan rasial 13-15 Mei 1998 adalah rumor dan tidak ada buktinya. Rumor adalah cerita atau laporan yang beredar luas di masyarakat tapi kebenarannya diragukan karena tidak ada otoritas yang mengetahui kebenarannya," kata Usman dalam konferensi pers Koalisi Perempuan Indonesia, Jumat (13/6).

Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas yang terdiri dari 547 pihak baik organisasi maupun individu menilai pernyataan Fadli sebagai bentuk manipulasi sejarah.

"Kami menilai pernyataan tersebut merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi khususnya kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa Mei 1998," ujar koalisi dikutip dari laman KontraS, Minggu (15/6).

(mnf/kid)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Sinar Berita| Sulawesi | Zona Local | Kabar Kalimantan |